KONSEP MANUSIA MENURUT
PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK
Sebagai suatu
disiplin ilmu, psikologi amat penting bagi kehidupan manusia, mengingat obyek
kajian psikologi adalah perilaku manusia. Dapat dikatakan bahwa mempelajari
perilaku manusia berarti melakukan pengkajian yang amat mendasar dalam hidup
manusia. Manusia eksis dan membangun diri, membangun masyarakat dan melahirkan
karya besar bagi peradaban dunia, yang keseluruhannya tidak dapat terlepas dari
perilaku manusia. Sebaliknya, manusia bisa terpuruk pada kehancuran, kemunduran
dan keterbelakangan juga karena ulah perilakunya sendiri.
Pengkajian
terhadap perilaku manusia merupakan upaya untuk mengungkapkan makna asasi dari
eksistensi kehidupan manusia. Hal ini berkaitan dengan latar belakang
kehidupan, motivasi, harapan-harapan, tujuan manusia sebagai individu maupun
tujuan dan harapan dari lingkungan, kondisi psikis, dan bahkan keyakinan yang
dianut oleh individu. Oleh karena itu, pengkajian dan interpretasi terhadap
perilaku manusia dalam kenyataannya amat dipengaruhi oleh aspek ontologis yang
dianut oleh orang atau kelompok yang melakukan penelaahan terhadap perilaku
manusia. Perbedaan sudut pandang dalam melihat makna hakiki fenomena perilaku,
atau perbedaan pandangan filosofis mengenai eksistensi manusia, dengan
sendirinya akan melahirkan interpretasi yang amat berbeda dalam menelaah
perilaku manusia. Dari perbedaan ini, dalam sejarah perkembangannya psikologi
melahirkan beberapa aliran, seperti aliran Psikologi analisa, aliran tingkah
laku (behaviorism), dan aliran psikologi humanistik, yang masing-masing
memiliki konsep dasar penelaahan perilaku yang khas. Tulisan ini akan mengupas
pemahaman konsep manusia yang mengacu pada pandangan psikologi berhavioristik
sebagai salah satu bahan acuan untuk memahami hakekat manusia yang lebih utuh
serta upaya dalam meninjau manusia dari sudut pandang yang lain, dalam hal ini
konsep Islam.
Konsep manusia
menurut aliran behavioristik
Aliran
behaviorisme melahirkan pendekatan yang sangat kontradiktif dengan aliran yang
mendahuluinya, yaitu aliran psikoanalisa, yang memandang bahwa manusia sangat
dipengaruhi oleh insting tak sadar dan dorongan-dorongan nafsu rendah. Aliran
ini tidak mengakui konsepsi ketidaksadaran/kesadaran yang menjadiu inti dari
psikoanalisa, namun lebih memandang aspek stimulasi lingkungan yang bisa
membentuk perilaku manusia dengan sesuka hati lingkungan eksternal itu.
Penjelasan terbentuknya perilaku manusia beranjak dari penelitian yang bersifat
obyektif-empirik dan rasional melalui tingkah lakku yang secara nyata dapat
diamati dan diukur. Aliran ini menolak pendekatan psikoanalisa yang bersifat
subyektif, karena dianggap terlalu hipotesis dan intuitif tanpa dukungan temuan
yang bersifat empiris. Sementara itu, asumsi-asumsi dalam psikologi behavioristik
melalui eksperimen- eksperimen dengan hewan sebagai subyek penelitian yang
bertujuan untuk mengetahui pola dasar perilaku manusia dan proses perubahannya.
Pelopor aliran
behaviorisme, John Broadus Watson, melalui studi eksperimen menjelaskan konsep
kepribadian dengan mempelajari tingkah laku manusia yang mengacu pada konsep
stimulus-respons. Ia mengganti konsep kesadaran dan ketidaksadaran dengan
istilah stimulus, response dan habit. Stimulus selanjutnya dimaknakan sesuatu
yang dapat dimanipulasi atau direkayasa lingkungan sebagai upaya membentuk
perilaku manusia melalui respons yang muncul sebagaimana yang diharapkan
lingkungan, sedangkan habit adalah hasil pembentukan perilaku tersebut.
Pemikiran
Watson ini banyak dipengaruhi oleh pendapat Ivon Pavlov, seorang ahli faal dari
Rusia tentang conditioned response dalam classical conditioning (pembiasaan
klasik). Temuan Pavlov menunjukkan bahwa suatu stimulus akan menimbulkan
respons tertentu apabila stimulus itu sering diberikan bersamaan dengan stimulus
lain yang secara alamiah menimbulkan respons tersebut. Pemasangan bel yang
selalu dibunyikan bersamaan dengan pemberian makanan pada seekor anjing lama
kelamaan akan menimbulkan air liur pada anjing itu sekalipun makanan tidak
diberikan. Dalam hal ini perubahan perilaku terjadi karena adanya asosiasi
antara kedua stimulus tersebut. Temuan eksperimen pada hewan ini mengilhami
Watson dalam menganalisa terbentuknya tingkah laku manusia berdasarkan kesatuan
antara stimulus-respons, yang diawali dengan respons dasar yang disebut
refleks. Refleks sampai dengan refleks atau gerakan yang lebih kompleks karena
adanya proses asosiasi antara reaksi terhadap sensasi dengan obyek yang ada di
lingkungan dan diberi pemahaman tertentu menurut Watson meliputi reaksi yang
sederhana misalnya kedipan mata karena desiran angin sebagai reaksi terhadap
sensasi dari lingkungan (stimulus yang bersifat alamiah),. Pemahaman inilah
yang kemudian menghasilkan respons.
Selanjutnya
Watson menemukan hubungan antara prisnip ini dengan terjadinya suatu pola
perilaku tertentu sebagai akibat dari perkembangan respons dasar dalam menerima
stimulus yang semakin banyak dan semakin kompleks. Hal ini dimungkinkan melalui
proses sensasi dan persepsi atas sensasi itu, yang diwarnai oleh perasaan dan emosi
yang tergugah pada saat itu dan kemudian diolah melalui proses berpikir. Semua
ini dikendalikan oleh proses faali otak dan susunan syaraf. Dalam
perkembangannya proses interaksi stimulus-respons akan sampai pada taraf yang
terintegrasi membentuk perilaku yang utuh. Dengan demikian aliran ini
berpandangan bahwa manusia adalah hasil dari suatu rekayasa yang dibentuk oleh
stimulus-stimulus yang berasal dari lingkungan yang diterima selama hidupnya,
sehingga membentuk pola perilaku tertentu. Watson mengungkapkan bahwa
kepribadian seseorang merupakan himpunan aneka respons yang dapat diungkap
melalui pengamatan terhadap tingkah laku dalam waktu yang cukup lama.
Kepribadian hanyalah merupakan hasil akhir dari berbagai sistem kebiasaan.
Prinsip
perubahan perilaku ditemukan Edward Thorndike, salah seorang perintis aliran
behaviorisme lainnya, melalui kajian hukum sebab-akibat atau law of effect.
Thorndike mengemukakan bahwa perilaku manusia yang mengikuti hukum sebab-akibat
karena sebab-sebab itu sendiri dapat dikontrol dan diciptkan oleh lingkungan.
Artinya, perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan bagi pelaku
cenderung akan diulangi, sebaliknya perilaku yang menimbulkan akibat-akibat
yang tidak memuaskan atau merugikan cenderung akan dihentikan. Prinsip
perubahan perilaku ini kemudian oleh B.F. Skinner yang terkenal dengan “operant
conditioning”-nya.
B.F. Skinner
selain mengacu kepada pemikiran Thorndike, ia pun menggunakan gagasan Watson
tentang konsep stimulus-respons dalam mengembangkan teori-teori proses belajar
dan perekayasaan perilaku manusia. Skinner melalui studi eksperimen di
laboratorium membdekan antara perilaku operan (operant behavior) dan perilaku
responden (respondent behavior). Perilaku responden secara langsung dapat
dikendalikan oleh stimulus. Dalam hal ini dapat disamakan dengan respons dasar
pada pemikiran Watson, sedangkan perilaku operan terbentuk karena kehendak
individu sendiri pada saat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Artinya,
stimulus yang diberikan pada perilaku tertentu tidak memaksa individu untuk
berperilaku seperti itu. Skinner yakin bahwa terbentuknya suatu perilaku pada
manusia dapat diatur atu dibentuk seperti yang dilakukan pada pembiasaan
perilaku tertentu pada hewan. Skinner mengutarakan bahwa dasar utama dalam
terbentuknya perilaku manusia disebabkan karena adanya penguat (reinforcement)
yang datang dari lingkungannya. Pembiasaan perilaku yang menjadi mantap apabila
perilaku yang ditampilkan menghasilkan hal-hal yang diinginkan individu
(penguat positif), yakni perilaku yang menimbulkan akibat yang memuaskan
hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat negatif). Di lain pihak suatu
pola perilaku tertentu akan menghilang apabila perilaku itu mengakibatkan
dialaminya hal-hal yang tak menyenangkan (hukuman), atau mengakibatkan
hilangnya hal-hal yang menyenangkan individu (penghapusan). Dalam hal ini
perilaku manusia terbentuk karena adanya penguat (reinforcement) yang biasa
berperan sebagai penguat positif (positive reinforcer) atau penguat negatif
(negative reinforcer). Skinner sampai pada kesimpulan bahwa perilaku manusia
terjadi karena pengaruh dan pengaturan dari linkungan melalui prinsip
penguatan, sedangkan proses mental individu sama sekali tidak berperan.
Pembentukan
perilaku manusia dapat pula terjadi karena proses peneladanan (modelling)
seperti yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Dalam kehidupan sosial perubahan
perilaku terjadi karena proses peneladanan terhadap perilaku orang lain yang
dikagumi dan disenangi. Dalam perilaku ini, individu mengidentifikasikan diri
pada suatu model, mencanangkan tujuan-tujuan pribadi yang akan dicapai dan
melakukan self reinforcement untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain
konsep stimulus-respons, unsur individu lebih berperan daripada unsur
reinforcement oleh karenanya perubahan perilaku dapat terjadi tanpa penguatan.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa aliran behaviorisme sangat mengagungkan pengaruh
lingkungan dalam membentuk perilaku manusia. Manusia dapat dikatakan bersifat
pasif, karena tergantung dari perlakuan yang diberikan lingkungan kepadanya.
Konsep manusia dipelajari melalui pengalaman dan pemeliharaan perilakunya
dilakukan sehubungan dengan usahanya menyesuaikan diri dengan stimulus
lingkungan. Aliran ini tidak mempertimbangkan alasan-alasan atau proses yang
terjadi dalam diri individu. Terdapat empat hal utama yang menjadi pokok
perhatian dalam menelaah konsep manusia, yaitu: 1) sensasionalisme,
dihipotesakan bahwa semua perilaku terjadi melalui pengalaman sensori; 2)
reduksionisme, semua perilaku termasuk perilaku yang kompleks dapat dijelaskan
melalui konsep sederhana yang mengikuti konsep konsep stimulus-respons; 3)
asosiasisme, bahwa semua perilaku termasuk proses mental terjadi karena adanya
hubungan asosiasi yang kuat akibat perlakuan yang berulang-ulang; 4) mekanisme,
bahwa unsur-unsur kejiwaan manusia dapat disamakan dengan “mesin” yang
terbentuk dari proses sederhana stimulus-respons dan diatur lingkungan tanpa
mempertimbangkan komponen misterius dalam diri manusia.
Kritik
kesejalanan dengan konsep Islam
Menyoroti
lintasan sejarahnya, psikologi sebagai disiplin ilmu lahir dan berkembang dari
peradaban dunia Barat. Oleh karena itu, psikologi berkembang atas landasan
ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa, sehingga pada saat menelaah dimensi-dimensi
perilaku manusia yang supra empiris, dimensi spiritual dan dimensi religius
menghasilkan interpretasi yang banyak mengandung kekosongan. Sejalan dengan
kekosongan ini, muncul ajakan-ajakan untuk mengembangkan psikologi Islami yang
seyogianya diarahkan pada pengembangan psikologi yang koheren dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Dengan sendirinya landasan, tujuan, ruang lingkup,
metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang bersumber dan berpijak
pada wahyu Allah. Psikologi Islami diharapkan akan mengkaji perilaku dengan
mempertimbangkan jiwa dan badan, di mana perilaku manusia merupakan cerminan
kepribadiannya. Ekspresi hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam
merumuskan manusia, psikologi Islami hendaknya melihat manusia tidak semata-mata
dari perilaku yang dapat diobservasi saja, atau hanya bersifat spekulasi
tentang apa dan siapa manusia. Pengkajian manusia seherusnya dimulai dengan
rumusan manusia menurut Tuhan. Perlu disadari adanya kompleksitas dalam diri
manusia di mana hanya Sang Pencipta-lah yang mampu memahami dan mendeskripsikan
kompleksitas tersebut. Dengan demikian psikologi Islami dalam menguraikan
konsep manusia tidak semata-mata mendasarkan diri pada perilaku manusia, akan
tetapi melalui dalil-dalil tentang perilaku manusia berdasarkan firman Tuhan.
Mengacu pada
pandangan al-Ghazali tentang al-Qur'an mengenai manusia, Hanna Djumhana
Bastaman menandai wawasan Islam mengenai manusia sebagai berikut:
a. al-Qur'an
memberi penghargaan yang cukup tinggi terhadap martabat umat manusia dengan
julukan kehormatan yang diberikan kepada manusia sebagai “khalifah di bumi”.
b. Fitrah
manusia adalah suci dan beriman.
c. Al-Qur'an
menyatakan adanya ruh pada manusia di samping raga dan jiwanya. Ruh ini sudah
ada sebelum manusia dilahirkan, selama ia masih hidup, dan setelah berpulang.
Ketiga hal ini
yang membedakan antara wawasan Islami dengan wawasan filsafat dan teori
psikologi yang ada. Landasan ini menunjukkan bahwa kajian psikologi Islami
hendak meliputi dimensi ruhani (spiritual-imani) selain dimensi ragawi
(fisik-biologis), dimensi kejiwaan (psikologis) dan dimensi lingkungan
(sosio-kultural). Dimensi ruhani yang dimaksud bukanlah ruh jenis tetumbuhan
(an-nafs al-nabatiyah) atau ruh hewan (an-nafs al-hayawaniyah) dan juga bkan
hasrat-hasrat rendah (al-hawa), melainkan sejenis ruh yang teramat halus dan
luhur yang dikaruniakan Allah kepada manusia semata. Tujuannya, agar manusia
mempunyai hubungan ruhaniah dengan sang pemilik ruh itu: Allah Ta’ala. Demikian
pula dengan akal (al-aql), hati (al-qalb), dan an-nafs yang keseluruhannya
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengkajian perilaku manusia dalam
psikologi Islami.
Aliran
behaviorisme mempelajari terbentuknya perilaku manusia atas dasar konsep
stimulus-respons yang berarti perilaku manusia sangat terkondisi oleh
lingkungan. Upaya rekaya dan kondisi lingkungan luar dianggap sebagai hal yang
amat mempengaruhi dan menentukan perilaku serta kepribadian manusia.
Satu-satunya motivasi yang mendorong manusia bertingkah laku adalah penyesuaian
diri dengan lingkungan. Konsep ini mengisyaratkan bahwa ketika dilahirkan
manusia tidak membawa bakat apa-apa dan mengingkari potensi alami manusia.
Aliran behaviorisme menolak determinan perilaku manusia yang disebabkan karena
proses mental dalam diri manusia, karena manusia berkembang atas dasar
stimulasi atau rekayasa dari lingkungannya. Dengan demikian, manusia bersifat
pasif tergantung dari perlakuan lingkungannya. Lingkungan yang buruk akan
menghasilkan manusia yang buruk, sebaliknya lingkungan yang baik akan
menghasiulkan manusia yang baik. Pandangan ini beranggapan bahwa manusia tidak
memiliki kesempatan untuk menentukan dirinya sendiri, karena yang sangat
menentukan adalah lingkungannya. Oleh karena itu, aliran ini mempunyai
kecenderungan untuk mereduksi manusia. Artinya, manusia tidak memilki jiwa,
tidak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menetapkan perilakunya sendiri.
Manusia dianggap sebagai “mesin” yang bergerak karena perlakuan dari orang lain
(lingkungan) dan terbentuk karena pengaruh dari faktor penguat berupa ganjaran
dan hukuman. Konsep manusia diyakini dapat diamati dan diukur melalui
pendekatan terhadap persoalan fisik dan teknis. Manusia hanya dianggap sebagai
obyek yang cukup diamati saja, tak perlu diwawancarai untuk memperoleh
informasi tentang dirinya, perasaan-perasaannya serta hasrat dan keinginannya.
Kompleksitas dan keunikan manusia dipandang sebagai suatu yang simpel oleh
aliran behaviorisme.
Selain itu,
alian behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia terbentuk karena adanya
pengaruh dari reinforcement. Dalam hal ini tidak diperbincangkan adanya makna
perilaku baik dan buruk, kecuali hasil dari reinforcement sebagai penguat
positif atau negatif. Konsep benar dan salah tidak diperhitungkan dalam kajian
tentang perilaku manusia. Etika, moral, dan nilai-nilai hanyalah hasil proses
belajar asosiatif. Satu-satunya ukuran kebenaran adalah berlangsungnya hidup
peradaban. Perilaku “baik dan buruk” dan perilaku “salah dan benar” tidaklah
disebabkan karena kebaikan atau keburukan yang nyata-nyata ada dalam situasi,
dan tidak pula disebabkan oleh pengetahuan tentang benar dan salah, halal atau
haram, tetapi lebih disebabkan karena adanya kemungkinan yang melibatkan
berbagai macam penguat positif atau negatif, karena adanya ganjaran dan
hukuman.
Dengan demikian
yang sama antara perilaku pada hewan dan perilaku manusia yang kompleks, maka
dasar pemikiran yang bersifat analogi ini dianggap terlalu ceroboh mengingat
tentunya ada perbedaan- perbedaan yang mendasar antara hewan dan manusia.
Bahkan beberapa penganut aliran behaviorisme mengatakan bahwa kepercayaan
manusia terhadap Tuhan dan upacara ritual untuk mengagungkan-Nya, dapat
disamakan dengan perilaku takhayul dari burung dara kelaparan yang secara terus
menerus mengulangi gerakan khusus berdasarkan prinsip reinforcement. Oleh
karenanya, kehidupan beragama seseorang pun dapat disusutkan menjadi
refleks-refleks dan respons-respons yang terkondisi.
Perilaku
manusia mengikuti hukum sebab-akibat, di mana sebab-sebab itu sendiri dapat dikontrol
dan diciptakan. Dengan demikian manusia memiliki kemampuan tidak hanya sekadar
menyesuaikan diri dengan lingkungan, namun juga mampu mengatur kehidupan diri
dan lingkungannya. Dengan kemampuan mengatur lingkungan, maka dimungkinkan
manusia untuk mampu melakukan perubahan besar terhadap arah kehidupannya. Dalam
hal ini kiranya perlu dipertimbangkan bahwa manusia sebagai makhluk hedonis
yang mencari kenikmatan dan cenderung mengulangi perilaku-perilaku yang
memuaskan dirinya dianggap terlepas dari perilaku benar dan salah, padahal
manusia juga memiliki kehendak untuk mengabdi pada Tuhannya dengan tulus,
ikhlas, dan penuh kepasrahan. Pandangan ini mengangkat derajat manusia ke
tempat yang teramat tinggi. Ia miliki kebebasan penuh untuk berbuat sesuatu yang
dianggap baik dan sesuai bagi dirinya.
Muncul
pertanyaan, apa yang dapat dimanfaatkan dari pandangan konsep manusia menurut
aliran behaviorisme? Para ahli aliran psikologi behavioristik melalui
penelitian-penelitian eksperimentalnya berhasil menemukan kaidah-kaidah belajar
yang melandasi perubahan perilaku. Hal ini dapat dijadikan acuan dalam kegiatan
pendidikan, psikoterapi, pembentukan kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban
sosial mengingat adanya kekuatan yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh
lingkungan dan perencanaan lingkungan terhadap perilaku manusia. Kaidah-kaidah
dan hukum-hukum belajar secara positif dapat direkayasa untuk mengubah perilaku
sesuai dengan perilaku yang tergolong “baik dan benar” dikaitkan dengan
nilai-nilai yang berlaku.
Kaidah dan
hukum belajar ini dapat dianggap sebagai keunggulan dari aliran behavioristik
dalam menelaah konsep manusia dikaitkan dengan salah satu fenomena sunnatullah,
yaitu bahwa manusia dapat mengubah nasib dirinya. Petunjuk Tuhan bagi mereka
yang ingin mengubah nasib dirinya tentunya dapat menggunakan metode dan teknik
belajar dengan memanfaatkan temuan-temuan aliran behavioristik. Selain itu
diketahui pula bahwa belajar merupakan kewajiban bagi setiap Muslim seperti
yang diungkapkan dalam al-Qur'an.
Daftar Pustaka
Al-Aqqad, Abbas
Mahmud. 1986. Manusia Diungkap al-Qur'an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ancok,
Djamaludin., dan Fuat Nashori Suroso. 1995. Psikologi Islami, Solusi Islam atas
Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Bastaman, Hanna
Djumhana. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam. Cetakan kedua. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar dengan Yayasan Insan Kamil.
Goble, Frank G.
1987. Mazhab Ketiga-Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Hall, Calvin S,
and Gardner Lindzey. 1970. Theories of Personality. Second edition. New York:
John Wiley and Sons, Inc.
Rifat, Syauqi
Nawawi. 1996. Konsep manusia menurut al-Qur'an. Makalah. Disampaikan pada
Simposium Nasional Psikologi Islam di Universitas Padjadjaran. Bandung.
Schultz, Duane.
1981. Theories of Personality. Second edition. California: Brooks/Cole
Publishing Company, Monterey.
Sumintardja,
Elmira N. 1996. Konsep manusia menurut Psikologi Modern. Makalah. Disampaikan
pada Simposium Nasional Psikologi Islam di Universitas Padjadjaran. Bandung.
Wulff, David M.
1997. Psychology of Religion, Classic and Contemporary. Second edition. New
York: John Wiley & Sons, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar