Kamis, 19 Desember 2013

Konsep Manusia Menurut Psikologi Behavioristik

KONSEP MANUSIA MENURUT PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK

Sebagai suatu disiplin ilmu, psikologi amat penting bagi kehidupan manusia, mengingat obyek kajian psikologi adalah perilaku manusia. Dapat dikatakan bahwa mempelajari perilaku manusia berarti melakukan pengkajian yang amat mendasar dalam hidup manusia. Manusia eksis dan membangun diri, membangun masyarakat dan melahirkan karya besar bagi peradaban dunia, yang keseluruhannya tidak dapat terlepas dari perilaku manusia. Sebaliknya, manusia bisa terpuruk pada kehancuran, kemunduran dan keterbelakangan juga karena ulah perilakunya sendiri.
Pengkajian terhadap perilaku manusia merupakan upaya untuk mengungkapkan makna asasi dari eksistensi kehidupan manusia. Hal ini berkaitan dengan latar belakang kehidupan, motivasi, harapan-harapan, tujuan manusia sebagai individu maupun tujuan dan harapan dari lingkungan, kondisi psikis, dan bahkan keyakinan yang dianut oleh individu. Oleh karena itu, pengkajian dan interpretasi terhadap perilaku manusia dalam kenyataannya amat dipengaruhi oleh aspek ontologis yang dianut oleh orang atau kelompok yang melakukan penelaahan terhadap perilaku manusia. Perbedaan sudut pandang dalam melihat makna hakiki fenomena perilaku, atau perbedaan pandangan filosofis mengenai eksistensi manusia, dengan sendirinya akan melahirkan interpretasi yang amat berbeda dalam menelaah perilaku manusia. Dari perbedaan ini, dalam sejarah perkembangannya psikologi melahirkan beberapa aliran, seperti aliran Psikologi analisa, aliran tingkah laku (behaviorism), dan aliran psikologi humanistik, yang masing-masing memiliki konsep dasar penelaahan perilaku yang khas. Tulisan ini akan mengupas pemahaman konsep manusia yang mengacu pada pandangan psikologi berhavioristik sebagai salah satu bahan acuan untuk memahami hakekat manusia yang lebih utuh serta upaya dalam meninjau manusia dari sudut pandang yang lain, dalam hal ini konsep Islam.
Konsep manusia menurut aliran behavioristik
Aliran behaviorisme melahirkan pendekatan yang sangat kontradiktif dengan aliran yang mendahuluinya, yaitu aliran psikoanalisa, yang memandang bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh insting tak sadar dan dorongan-dorongan nafsu rendah. Aliran ini tidak mengakui konsepsi ketidaksadaran/kesadaran yang menjadiu inti dari psikoanalisa, namun lebih memandang aspek stimulasi lingkungan yang bisa membentuk perilaku manusia dengan sesuka hati lingkungan eksternal itu. Penjelasan terbentuknya perilaku manusia beranjak dari penelitian yang bersifat obyektif-empirik dan rasional melalui tingkah lakku yang secara nyata dapat diamati dan diukur. Aliran ini menolak pendekatan psikoanalisa yang bersifat subyektif, karena dianggap terlalu hipotesis dan intuitif tanpa dukungan temuan yang bersifat empiris. Sementara itu, asumsi-asumsi dalam psikologi behavioristik melalui eksperimen- eksperimen dengan hewan sebagai subyek penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pola dasar perilaku manusia dan proses perubahannya.
Pelopor aliran behaviorisme, John Broadus Watson, melalui studi eksperimen menjelaskan konsep kepribadian dengan mempelajari tingkah laku manusia yang mengacu pada konsep stimulus-respons. Ia mengganti konsep kesadaran dan ketidaksadaran dengan istilah stimulus, response dan habit. Stimulus selanjutnya dimaknakan sesuatu yang dapat dimanipulasi atau direkayasa lingkungan sebagai upaya membentuk perilaku manusia melalui respons yang muncul sebagaimana yang diharapkan lingkungan, sedangkan habit adalah hasil pembentukan perilaku tersebut.
Pemikiran Watson ini banyak dipengaruhi oleh pendapat Ivon Pavlov, seorang ahli faal dari Rusia tentang conditioned response dalam classical conditioning (pembiasaan klasik). Temuan Pavlov menunjukkan bahwa suatu stimulus akan menimbulkan respons tertentu apabila stimulus itu sering diberikan bersamaan dengan stimulus lain yang secara alamiah menimbulkan respons tersebut. Pemasangan bel yang selalu dibunyikan bersamaan dengan pemberian makanan pada seekor anjing lama kelamaan akan menimbulkan air liur pada anjing itu sekalipun makanan tidak diberikan. Dalam hal ini perubahan perilaku terjadi karena adanya asosiasi antara kedua stimulus tersebut. Temuan eksperimen pada hewan ini mengilhami Watson dalam menganalisa terbentuknya tingkah laku manusia berdasarkan kesatuan antara stimulus-respons, yang diawali dengan respons dasar yang disebut refleks. Refleks sampai dengan refleks atau gerakan yang lebih kompleks karena adanya proses asosiasi antara reaksi terhadap sensasi dengan obyek yang ada di lingkungan dan diberi pemahaman tertentu menurut Watson meliputi reaksi yang sederhana misalnya kedipan mata karena desiran angin sebagai reaksi terhadap sensasi dari lingkungan (stimulus yang bersifat alamiah),. Pemahaman inilah yang kemudian menghasilkan respons.
Selanjutnya Watson menemukan hubungan antara prisnip ini dengan terjadinya suatu pola perilaku tertentu sebagai akibat dari perkembangan respons dasar dalam menerima stimulus yang semakin banyak dan semakin kompleks. Hal ini dimungkinkan melalui proses sensasi dan persepsi atas sensasi itu, yang diwarnai oleh perasaan dan emosi yang tergugah pada saat itu dan kemudian diolah melalui proses berpikir. Semua ini dikendalikan oleh proses faali otak dan susunan syaraf. Dalam perkembangannya proses interaksi stimulus-respons akan sampai pada taraf yang terintegrasi membentuk perilaku yang utuh. Dengan demikian aliran ini berpandangan bahwa manusia adalah hasil dari suatu rekayasa yang dibentuk oleh stimulus-stimulus yang berasal dari lingkungan yang diterima selama hidupnya, sehingga membentuk pola perilaku tertentu. Watson mengungkapkan bahwa kepribadian seseorang merupakan himpunan aneka respons yang dapat diungkap melalui pengamatan terhadap tingkah laku dalam waktu yang cukup lama. Kepribadian hanyalah merupakan hasil akhir dari berbagai sistem kebiasaan.
Prinsip perubahan perilaku ditemukan Edward Thorndike, salah seorang perintis aliran behaviorisme lainnya, melalui kajian hukum sebab-akibat atau law of effect. Thorndike mengemukakan bahwa perilaku manusia yang mengikuti hukum sebab-akibat karena sebab-sebab itu sendiri dapat dikontrol dan diciptkan oleh lingkungan. Artinya, perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan bagi pelaku cenderung akan diulangi, sebaliknya perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang tidak memuaskan atau merugikan cenderung akan dihentikan. Prinsip perubahan perilaku ini kemudian oleh B.F. Skinner yang terkenal dengan “operant conditioning”-nya.

B.F. Skinner selain mengacu kepada pemikiran Thorndike, ia pun menggunakan gagasan Watson tentang konsep stimulus-respons dalam mengembangkan teori-teori proses belajar dan perekayasaan perilaku manusia. Skinner melalui studi eksperimen di laboratorium membdekan antara perilaku operan (operant behavior) dan perilaku responden (respondent behavior). Perilaku responden secara langsung dapat dikendalikan oleh stimulus. Dalam hal ini dapat disamakan dengan respons dasar pada pemikiran Watson, sedangkan perilaku operan terbentuk karena kehendak individu sendiri pada saat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Artinya, stimulus yang diberikan pada perilaku tertentu tidak memaksa individu untuk berperilaku seperti itu. Skinner yakin bahwa terbentuknya suatu perilaku pada manusia dapat diatur atu dibentuk seperti yang dilakukan pada pembiasaan perilaku tertentu pada hewan. Skinner mengutarakan bahwa dasar utama dalam terbentuknya perilaku manusia disebabkan karena adanya penguat (reinforcement) yang datang dari lingkungannya. Pembiasaan perilaku yang menjadi mantap apabila perilaku yang ditampilkan menghasilkan hal-hal yang diinginkan individu (penguat positif), yakni perilaku yang menimbulkan akibat yang memuaskan hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat negatif). Di lain pihak suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila perilaku itu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tak menyenangkan (hukuman), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan individu (penghapusan). Dalam hal ini perilaku manusia terbentuk karena adanya penguat (reinforcement) yang biasa berperan sebagai penguat positif (positive reinforcer) atau penguat negatif (negative reinforcer). Skinner sampai pada kesimpulan bahwa perilaku manusia terjadi karena pengaruh dan pengaturan dari linkungan melalui prinsip penguatan, sedangkan proses mental individu sama sekali tidak berperan.
Pembentukan perilaku manusia dapat pula terjadi karena proses peneladanan (modelling) seperti yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Dalam kehidupan sosial perubahan perilaku terjadi karena proses peneladanan terhadap perilaku orang lain yang dikagumi dan disenangi. Dalam perilaku ini, individu mengidentifikasikan diri pada suatu model, mencanangkan tujuan-tujuan pribadi yang akan dicapai dan melakukan self reinforcement untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain konsep stimulus-respons, unsur individu lebih berperan daripada unsur reinforcement oleh karenanya perubahan perilaku dapat terjadi tanpa penguatan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aliran behaviorisme sangat mengagungkan pengaruh lingkungan dalam membentuk perilaku manusia. Manusia dapat dikatakan bersifat pasif, karena tergantung dari perlakuan yang diberikan lingkungan kepadanya. Konsep manusia dipelajari melalui pengalaman dan pemeliharaan perilakunya dilakukan sehubungan dengan usahanya menyesuaikan diri dengan stimulus lingkungan. Aliran ini tidak mempertimbangkan alasan-alasan atau proses yang terjadi dalam diri individu. Terdapat empat hal utama yang menjadi pokok perhatian dalam menelaah konsep manusia, yaitu: 1) sensasionalisme, dihipotesakan bahwa semua perilaku terjadi melalui pengalaman sensori; 2) reduksionisme, semua perilaku termasuk perilaku yang kompleks dapat dijelaskan melalui konsep sederhana yang mengikuti konsep konsep stimulus-respons; 3) asosiasisme, bahwa semua perilaku termasuk proses mental terjadi karena adanya hubungan asosiasi yang kuat akibat perlakuan yang berulang-ulang; 4) mekanisme, bahwa unsur-unsur kejiwaan manusia dapat disamakan dengan “mesin” yang terbentuk dari proses sederhana stimulus-respons dan diatur lingkungan tanpa mempertimbangkan komponen misterius dalam diri manusia.

Kritik kesejalanan dengan konsep Islam
Menyoroti lintasan sejarahnya, psikologi sebagai disiplin ilmu lahir dan berkembang dari peradaban dunia Barat. Oleh karena itu, psikologi berkembang atas landasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa, sehingga pada saat menelaah dimensi-dimensi perilaku manusia yang supra empiris, dimensi spiritual dan dimensi religius menghasilkan interpretasi yang banyak mengandung kekosongan. Sejalan dengan kekosongan ini, muncul ajakan-ajakan untuk mengembangkan psikologi Islami yang seyogianya diarahkan pada pengembangan psikologi yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan sendirinya landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang bersumber dan berpijak pada wahyu Allah. Psikologi Islami diharapkan akan mengkaji perilaku dengan mempertimbangkan jiwa dan badan, di mana perilaku manusia merupakan cerminan kepribadiannya. Ekspresi hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan manusia, psikologi Islami hendaknya melihat manusia tidak semata-mata dari perilaku yang dapat diobservasi saja, atau hanya bersifat spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Pengkajian manusia seherusnya dimulai dengan rumusan manusia menurut Tuhan. Perlu disadari adanya kompleksitas dalam diri manusia di mana hanya Sang Pencipta-lah yang mampu memahami dan mendeskripsikan kompleksitas tersebut. Dengan demikian psikologi Islami dalam menguraikan konsep manusia tidak semata-mata mendasarkan diri pada perilaku manusia, akan tetapi melalui dalil-dalil tentang perilaku manusia berdasarkan firman Tuhan.
Mengacu pada pandangan al-Ghazali tentang al-Qur'an mengenai manusia, Hanna Djumhana Bastaman menandai wawasan Islam mengenai manusia sebagai berikut:
a. al-Qur'an memberi penghargaan yang cukup tinggi terhadap martabat umat manusia dengan julukan kehormatan yang diberikan kepada manusia sebagai “khalifah di bumi”.
b. Fitrah manusia adalah suci dan beriman.
c. Al-Qur'an menyatakan adanya ruh pada manusia di samping raga dan jiwanya. Ruh ini sudah ada sebelum manusia dilahirkan, selama ia masih hidup, dan setelah berpulang.
Ketiga hal ini yang membedakan antara wawasan Islami dengan wawasan filsafat dan teori psikologi yang ada. Landasan ini menunjukkan bahwa kajian psikologi Islami hendak meliputi dimensi ruhani (spiritual-imani) selain dimensi ragawi (fisik-biologis), dimensi kejiwaan (psikologis) dan dimensi lingkungan (sosio-kultural). Dimensi ruhani yang dimaksud bukanlah ruh jenis tetumbuhan (an-nafs al-nabatiyah) atau ruh hewan (an-nafs al-hayawaniyah) dan juga bkan hasrat-hasrat rendah (al-hawa), melainkan sejenis ruh yang teramat halus dan luhur yang dikaruniakan Allah kepada manusia semata. Tujuannya, agar manusia mempunyai hubungan ruhaniah dengan sang pemilik ruh itu: Allah Ta’ala. Demikian pula dengan akal (al-aql), hati (al-qalb), dan an-nafs yang keseluruhannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengkajian perilaku manusia dalam psikologi Islami.
Aliran behaviorisme mempelajari terbentuknya perilaku manusia atas dasar konsep stimulus-respons yang berarti perilaku manusia sangat terkondisi oleh lingkungan. Upaya rekaya dan kondisi lingkungan luar dianggap sebagai hal yang amat mempengaruhi dan menentukan perilaku serta kepribadian manusia. Satu-satunya motivasi yang mendorong manusia bertingkah laku adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Konsep ini mengisyaratkan bahwa ketika dilahirkan manusia tidak membawa bakat apa-apa dan mengingkari potensi alami manusia. Aliran behaviorisme menolak determinan perilaku manusia yang disebabkan karena proses mental dalam diri manusia, karena manusia berkembang atas dasar stimulasi atau rekayasa dari lingkungannya. Dengan demikian, manusia bersifat pasif tergantung dari perlakuan lingkungannya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia yang buruk, sebaliknya lingkungan yang baik akan menghasiulkan manusia yang baik. Pandangan ini beranggapan bahwa manusia tidak memiliki kesempatan untuk menentukan dirinya sendiri, karena yang sangat menentukan adalah lingkungannya. Oleh karena itu, aliran ini mempunyai kecenderungan untuk mereduksi manusia. Artinya, manusia tidak memilki jiwa, tidak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menetapkan perilakunya sendiri. Manusia dianggap sebagai “mesin” yang bergerak karena perlakuan dari orang lain (lingkungan) dan terbentuk karena pengaruh dari faktor penguat berupa ganjaran dan hukuman. Konsep manusia diyakini dapat diamati dan diukur melalui pendekatan terhadap persoalan fisik dan teknis. Manusia hanya dianggap sebagai obyek yang cukup diamati saja, tak perlu diwawancarai untuk memperoleh informasi tentang dirinya, perasaan-perasaannya serta hasrat dan keinginannya. Kompleksitas dan keunikan manusia dipandang sebagai suatu yang simpel oleh aliran behaviorisme.
Selain itu, alian behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia terbentuk karena adanya pengaruh dari reinforcement. Dalam hal ini tidak diperbincangkan adanya makna perilaku baik dan buruk, kecuali hasil dari reinforcement sebagai penguat positif atau negatif. Konsep benar dan salah tidak diperhitungkan dalam kajian tentang perilaku manusia. Etika, moral, dan nilai-nilai hanyalah hasil proses belajar asosiatif. Satu-satunya ukuran kebenaran adalah berlangsungnya hidup peradaban. Perilaku “baik dan buruk” dan perilaku “salah dan benar” tidaklah disebabkan karena kebaikan atau keburukan yang nyata-nyata ada dalam situasi, dan tidak pula disebabkan oleh pengetahuan tentang benar dan salah, halal atau haram, tetapi lebih disebabkan karena adanya kemungkinan yang melibatkan berbagai macam penguat positif atau negatif, karena adanya ganjaran dan hukuman.
Dengan demikian yang sama antara perilaku pada hewan dan perilaku manusia yang kompleks, maka dasar pemikiran yang bersifat analogi ini dianggap terlalu ceroboh mengingat tentunya ada perbedaan- perbedaan yang mendasar antara hewan dan manusia. Bahkan beberapa penganut aliran behaviorisme mengatakan bahwa kepercayaan manusia terhadap Tuhan dan upacara ritual untuk mengagungkan-Nya, dapat disamakan dengan perilaku takhayul dari burung dara kelaparan yang secara terus menerus mengulangi gerakan khusus berdasarkan prinsip reinforcement. Oleh karenanya, kehidupan beragama seseorang pun dapat disusutkan menjadi refleks-refleks dan respons-respons yang terkondisi.
Perilaku manusia mengikuti hukum sebab-akibat, di mana sebab-sebab itu sendiri dapat dikontrol dan diciptakan. Dengan demikian manusia memiliki kemampuan tidak hanya sekadar menyesuaikan diri dengan lingkungan, namun juga mampu mengatur kehidupan diri dan lingkungannya. Dengan kemampuan mengatur lingkungan, maka dimungkinkan manusia untuk mampu melakukan perubahan besar terhadap arah kehidupannya. Dalam hal ini kiranya perlu dipertimbangkan bahwa manusia sebagai makhluk hedonis yang mencari kenikmatan dan cenderung mengulangi perilaku-perilaku yang memuaskan dirinya dianggap terlepas dari perilaku benar dan salah, padahal manusia juga memiliki kehendak untuk mengabdi pada Tuhannya dengan tulus, ikhlas, dan penuh kepasrahan. Pandangan ini mengangkat derajat manusia ke tempat yang teramat tinggi. Ia miliki kebebasan penuh untuk berbuat sesuatu yang dianggap baik dan sesuai bagi dirinya.
Muncul pertanyaan, apa yang dapat dimanfaatkan dari pandangan konsep manusia menurut aliran behaviorisme? Para ahli aliran psikologi behavioristik melalui penelitian-penelitian eksperimentalnya berhasil menemukan kaidah-kaidah belajar yang melandasi perubahan perilaku. Hal ini dapat dijadikan acuan dalam kegiatan pendidikan, psikoterapi, pembentukan kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial mengingat adanya kekuatan yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh lingkungan dan perencanaan lingkungan terhadap perilaku manusia. Kaidah-kaidah dan hukum-hukum belajar secara positif dapat direkayasa untuk mengubah perilaku sesuai dengan perilaku yang tergolong “baik dan benar” dikaitkan dengan nilai-nilai yang berlaku.
Kaidah dan hukum belajar ini dapat dianggap sebagai keunggulan dari aliran behavioristik dalam menelaah konsep manusia dikaitkan dengan salah satu fenomena sunnatullah, yaitu bahwa manusia dapat mengubah nasib dirinya. Petunjuk Tuhan bagi mereka yang ingin mengubah nasib dirinya tentunya dapat menggunakan metode dan teknik belajar dengan memanfaatkan temuan-temuan aliran behavioristik. Selain itu diketahui pula bahwa belajar merupakan kewajiban bagi setiap Muslim seperti yang diungkapkan dalam al-Qur'an.

Daftar Pustaka
Al-Aqqad, Abbas Mahmud. 1986. Manusia Diungkap al-Qur'an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ancok, Djamaludin., dan Fuat Nashori Suroso. 1995. Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Bastaman, Hanna Djumhana. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam. Cetakan kedua. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar dengan Yayasan Insan Kamil.
Goble, Frank G. 1987. Mazhab Ketiga-Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hall, Calvin S, and Gardner Lindzey. 1970. Theories of Personality. Second edition. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Rifat, Syauqi Nawawi. 1996. Konsep manusia menurut al-Qur'an. Makalah. Disampaikan pada Simposium Nasional Psikologi Islam di Universitas Padjadjaran. Bandung.
Schultz, Duane. 1981. Theories of Personality. Second edition. California: Brooks/Cole Publishing Company, Monterey.
Sumintardja, Elmira N. 1996. Konsep manusia menurut Psikologi Modern. Makalah. Disampaikan pada Simposium Nasional Psikologi Islam di Universitas Padjadjaran. Bandung.
Wulff, David M. 1997. Psychology of Religion, Classic and Contemporary. Second edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar