Kamis, 19 Desember 2013

Konsep Manusia menrut Psikoanalisa, Eksplanasi, Kritik dan Titik Temu dengan Psikologi Islam



KONSEP MANUSIA MENURUT PSIKOANALISA,EKSPLANASI, KRITIK DAN TITIK TEMU DENGAN PSIKOLOGI ISLAM

1.      Pendahuluan
Ketika psikologi berkembang sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku dengan mulai menerapkan prinsip-prinsip metode ilmiah, maka harus diakui bahwa perkembangan ini tidak lepas dari pemikiran jenius Sigmund Freud. Pemikiran Freud berakar dari studi empiriknya tentang individu yang mengalami penyimpangan pada perkembangan kepribadiannya. Hasil pemikirannya dianggap sebagai suatu karya yang utuh berupa model pendekatan konseptual atau aliran pertama yang mendominasi kancah ilmu psikologi dan selalu diperhitungkan sebagai konsep yang mendasari pertimbangan pemunculan konsep pemikiran berikutnya untuk memahami perilaku manusia.
Mazhab kedua yang muncul kemudian menjadi konsep tandingan dari apa yang telah dikemukakan dalam pandangan-pandangan Freud, yakni aliran behaviorisme. Pendekatan ini begitu kontradiktif dengan pendekatan psikoanalisa, terutama dalam substansi materi tentang ketidaksadaran/ kesadaran yang menjadi inti dari bahsn psikoanalisa tentang posisi dari struktur “psyche” atau jiwa, tetapi yang keberadaannya justru tidak dipedulikan oleh aliran behaviorisme. Mazhab ini lebih mengagungkan aspek stimulasi lingkungan yang bisa membentuk perilaku makhluk dengan sesuka hati lingkungan eksternal itu.
Kemudian muncul aliran ketiga, yaitu humanistik, yang merasa kurang puas dengan eksplanasi tentang perilaku manusia menurut dua konsep terdahulu. Kritik aliran ini terhadap psikoanalisa dan behaviorisme adalah “mengapa konsep tentang perilaku manusia harus dibangun pemahamannya melaui studi manusia yang tidak sehat mental dan manusia yang dapat dibentuk seenaknya seperti tanah liat oleh lingkungannya?”. “Bukankah manusia adalah makhluk yang bebas menentukan perkembangan dirinya menjadi sehat mental bila ia mendapat kesempatan, sehingga ia dapat berperilaku optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya?” Mazhab ketiga ini tidak menolak mentah-mentah konsep yang mendukung kedua mazhab sebelumnya, tetapi sebenarnya berupaya untuk mengintegrasikan segi yang bermanfaat, bermakna, dan dapat diterapkan bagi kemanusiaan dari kedua aliran tersebut.
Ketiga pendekatan tersebut di atas tentu saja tidak terlepas dari kritik dan kecaman seiring dengan berkembangnya konsep teori lainnya yang menjadi kontemporer dalam kancah ilmu perilaku, seperti misalnya aliran psikologi transpersonal, psikologi kognitif, bahkan pendekatan biopsikososial. Terlebih ketika timbul kesadaran dari psikolog Muslim bahwa konsep yang telah diaplikasikan dalam kurun waktu yang cukup lama ini tidak selalu mengandung kebenaran logika ilmiah yang dapat menjelaskan tingkah laku manusia. Meskipun konsep teori dan pendekatan-pendekatan dari Barat ini mematuhi kaidah ilmiah dan sistematika yang dipersyaratkan oleh ilmu pengetahuan, namun ditemukan beberapa eksplanasi yang tidak dapat diharapkan bila mengingat pemahaman perilaku manusia ditinjau dari rujukan religi. Keyakinan serta kebutuhan akan pengembangan pendekatan untuk dapat memahami perilaku ini menimbulkan gagasan tentang psikologi Islami. Psikologi Islami didefinisikan sebagai model pendekatan teoritik-konseptual yang merujuk penjelasn-penjelasan tentang perilaku manusia pada semua ayat dalam al-Qur’an, serta Sunnah Rasul yang tertera dalam hadits. Hal ini berdasarkan fakta bahwa semua perilaku manusia serta hakikat dan karakteristik dari sifat-sifat manusiawinya telah dengan jelas digambarkan serta diuraikan dalam ayat-ayat suci tersebut. Karena itu timbul perdebatan apakah konsep Barat masih mempunyai manfaat dan keuntungan untuk tetap mempertahankan dalam menguraikan dan menjelaskan konsep manusia, bila psikologi Islami sebagai suatu pendekatan dan metode telah mempunyai kebenaran pemahaman perilaku manusia menjadi lebih pasti pula. Atau masih adakah segi yang logik dan obyektif dari konsep Barat ini, yang masih dapat dipertahankan untuk memahami perilaku manusia, sehingga konsep religi dan konsep Barat dapat dipertemukan, baik dari segi substansi bahasanya, metode ilmiahnya serta terapannya?
Uraian berikut ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang konsep dasar psikoanalisa dalam meninjau terbentuknya perilaku manusia, kritik atas konsep tersebut dalam posisi mencari titik pertemuan dengan konsep psikologi Islami, serta pada sisi lain mengungkapkan bagian konseptual yang masih dapat dipertimbangkan memberi manfaat pada tinjauan konsep manusia dari sudut psikologi Islami.
2.      Konsep manusia menurut psikoanalisa
Psikoanalisa sering ditafsirkan dalam tiga batas pengertian. Pertama, sebagai suatu konsep teoritik dalam ilmu perilaku yang menjelaskan struktur dan dinamika kepribadian manusia. Kedua, suatu bentuk psikoterapi bagi gangguan jiwa. Ketiga, sebagai suatu teknik untuk menyusuri pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan tak sadar manusia.
Konsep kepribadian dalam teori ini diawali dengan pendapat Sigmund Freud tentang kehidupan manusia yang dikuasai oleh alam ketidaksadarannya (unconsciousness). Melalui studi pada pasien-pasiennya, Freud menemukan bahwa bermacam-macam kelainan tingkah laku disebabkan oleh faktor yang terdapat dalam alam ketidaksadaran ini. Karena itu untuk memahami gangguan perilaku dibutuhkan teknik untuk menganalisis alam ketidaksadaran ini yang digambarkan oleh Freud berada di bawah dan yang tertutup oleh alam kesadarannya (pengertian “bawah sadar” muncul karena topografi ini).
Struktur kepribadian digambarkan oleh Freud terdiri dari tiga sistem utama, yaitu id (das es), ego (das ich), dan super ego (ueber ich). Konsep ini muncul berdasarkan pemahaman Freud yang mengumpamakan keadaan dan proses mental manusia itu ibarat gunung es yang mengambang di tengah laut. Bagian permukaan yang timbul hanyalah sebagian dari apa yang dapat diobservasi tentang keadaan dalam jiwa itu, dan yang merupakan alam kesadaran. Bagian terbesar justru tidak tampak dan tenggelam di bawah permukaan, yang merupakan alam ketidaksadaran. Di antara kedua alam tersebut terdapat alam prasadar. Bagi Freud, alam ketidaksadaran inilah yang paling penting diperhatikan untuk memahami apa yang menjadi isi pikiran dan perasaan manusia yang melalui interaksi ketiga sistem dalam kepribadian manusia kemudian membentuk prilaku manusia.
Id merupakan reservoir atau wadah yang berisi dorongan-dorongan primitif atau impuls, atau insting, atau energi psikis yang selalu menginginkan untuk dipenuhi pemuasan dengan segera. Kalau dorongan ini terpenuhi pemuasannya, maka akan tercapai keadaan senang, bila belum tercapai maka akan dengan segala daya akan dicari pemuasannya. Inilah yang disebut sebagai pleasure principle. Id merupakan lapisan psikis paling dasar, yang merupakan tempat dua naluri, yakni libido atau eros atau naluri kehidupan; dan kedua, thanatos atau naluri kematian. Bila bayi baru lahir, maka yang ada pada dirinya hanyalah id ini saja, yang menjadi bahan dasar bagi isi psikis selanjutnya.
Komponen yang mengatur atau menyimpan dorongan atau impuls ini adalah sistem ego. Menurut Freud, ego merupakan penjabaran dari id ketika mengadakan kontak dengan dunia luar. Aktivitasnya dapat berupa sesuatu yang sadar, prasadar atau tak sadar. Yang sadar disebut sebagai persepsi lahiriah, atau persepsi batin atau proses intelektual. Yang prasadar, misalnya fungsi ingatan seseorang, sedangkan yang tak sadar dikendalikan oleh fungsi pertahanan diri (defence mechanism). Tugas ego-lah untuk mengatur penyesuaian antara dorongan impuls dengan tuntutan realita atau norma sosial dan mengendalikan konflik yang tercipta dari adanya impuls yang saling berbenturan mencari pemuasannya.
Super ego dapat diibaratkan kata hati yang terbentuk melalui proses internalisasi yang meliputi larangan dan perintah dari dunia luar yang berhubungan dengan lingkungan sosial dan nilai moral. Fungsinya adalah sebagai pengontrol dan penyensor id agar tidak begitu saja merealisasikan pemuasannya. Dapat dikatakan bahwa antara id dan super ego selalu terjadi pertentangan karena keduanya saling mendesak. Dorongan id ingin muncul ke realita, tetapi dorongan super ego menekan agar tidak muncul ke realita bila hal itu tidak disetujui oleh nilai dan aturan sosial yang berlaku. Bila ego gagal menjadi penengah dari kedua kekuatan ini, maka terjadi ketidakseimbangan dan konflik batin yang dapat mengarah pada gangguan neurotik.
Dalam perkembangan kepribadiannya, Freud berlandaskan pada dua premis. Pertama adalah pendekatan genetik yang menekankan pada pengalaman masa kanak-kanak yang dianggapnya memegang peranan penting dalam pembentukan pribadi individu. Dari premis inilah, Freud meyakini bahwa usia balita merupakan masa rawan yang akan menentukan siapa kelak pribadi seseorang itu. Premis yang kedua adalah bahwa libido atau energi seksual telah hadir ketika bayi lahir dan selanjutnya berkembang melalui suatu seri fase psikoseksual yang mengakar pada proses instingtif individu.
Secara hipotesis ia menggambarkan empat fase sekuensial dalam perkembangan kepribadian, meliputi fase oral, fase anal, fase falik, dan fase genital. Tiga fase pertama terjadi pada masa usia balita dan disebutnya sebagai masa pragenital, sedangkan fase terakhir yang terjadi pada masa pubertas, setelah sebelumnya terjadi fase latensi dalam kehidupan manusia. Dari konsepsinya ini jelas bahwa Freud menekankan pada faktor insting seksual sebagai faktor utama yang menentukan perkembangan manusia.
Perlu diingat bahwa Freud juga dipengaruhi oleh konsep filsafat, sains dan ilmu medik pada zamannya, yang kemudian dikukuhkan konsep-konsepnya melalui pandangan kolega, murid dan pengikut alirannya. Marx dan Hillix menggambarkan pengaruh konsep filsafat, sains dan perkembangan ilmu medik sebagai pemicu dari berkembangnya mazhab ini serta tokoh-tokoh penerus aliran psikoanalisa.
3.      Kritik dan Titik Temu dengan Psikologi Islami
Untuk memahami sisi pandang materi yang perlu dikritik dan diterima dari konsep psikoanalisa bila dipertemukan dengan sudut pandang psikologi Islami, maka kejelasan posisi dan lingkup bahasan psikologi Islami perlu ditetapkan lebih dahulu. Secara definitif, psikologi Islami masih memerlukan uraian yang perlu terus dikaji ulang agar sampai pada ketetapan pemahamannya yang hakiki. Namun upaya untuk memberi batasan pengertian selama ini telah sampai pada definisi (Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori, 1995) bahwa psikologi Islami adalah ilmu yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang berisi filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber formal Islam (ayat qouliyah) dan akal, indra, dan intuisi (ayat kauniyah).
Definisi umum tersebut di atas merupakan hasil pengkajian dan pendekatan yang sementara ini tidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi, yaitu pendekatan pertama bahwa psikologi Islami adalah konsep psikologi modern yang telah mengalami filterisasi dan di dalamnya terdapat wawasan Islam. Jadi psikologi Islami diartikan sebagai perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang konsep yang tidak sesuai dan bertentangan dengan konsep Islam. Sedangkan pendekatan kedua dalam menurunkan pemahaman psikologi Islami adalah yang menunjukkan uraian definitif paling mendekati definisi umum tersebut di atas, yaitu sebagai ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya dibangun atas dasar sumber-sumber formal Islam, yaitu al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits), dengan memperhatikan pula syarat-syarat ilmiah seperti lazimnya dalam bahasan metodologik suatu konsep teori.
Para psikolog Muslim mengutarakan definisi kedua merupakan suatu keharusan dari agenda jangka panjang psikologi Islami. Sedangkan pengertian pertama dimaksudkan oleh psikologi Muslim sebagai tahapan awal berpijak yang praktis untuk dapat memulai suatu arah kajian yang mengacu pada konsep Islami dengan mengadopsi konsep yang mendahuluinya, dalam hal ini konsep psikologi modern.
Obyek formal psikologi Islami adalah manusia dengan segala rahasia karakter, sifat dan hakikatnya, sampai pada peroses pembentukan perilakunya, yang sebenarnya merupakan materi yang paling banyak diungkap dalam al-Qur'an. Hal ini bermula dari konsep tentang manusia, yang bertalian dengan istilah yang selalu mengiringinya seperti nafs, ruh, aql, qalb, fuad, fitrah, fujura dan taqwa. Penjelasan tentang bagaimana perilaku insani terwujud dengan mengungkapkan kedudukan dan pengaruh tatanan isi jiwa manusia memberi peluang untuk terjadinya kajian dengan meminjam konsep psikologi modern. Dalam hal ini, tidak terkecuali pembahasa teori psikoanalisa dengan diberikan nuansa kerangka pikir sumber formal Islam. Namun perlu dipahami bahwa, menurut Fazlur Rahman, dalam al-Qur'an tidak sedikitpun dijelaskan doktrin dualisme yang radikal antara jiwa dan raga seperti umumnya yang terdapat dalam tradisi filsafat Yunani, agama Kristen, dan Hindu. Jadi, konsep manusia menurut al-Qur'an adalah satu kesatuan, dengan segala sifat dan karakternya yang beragam.
Kritik atas Sigmund serta para pengembang teorinya, terutama ditujukan pada substansi yang mengatakan bahwa alam pikiran dan ruang gerak manusia bersumber dari adanya kekuatan libido yang dispesifikasikan sebbagai dorongan seksual. Kekuatan dorongan ini begitu disederhanakan sehingga menutup kemungkinan adanya kekuatan lain yang dapat menggerakkan manusia untuk berpikir dan bertindak. Padahal harus diakui bahwa manusia adalah wujud makhluk yang kompleks, memiliki begitu banyak dimensi kebutuhan untuk mengisi kehidupannya, sehingga kita tidak dapat hanya menjelaskan bahwa perilaku X adalah hasil dari suatu sebab kausal yang linier dari satu keadaan atau dorongan. Manusia merupakan makhluk yang begitu kompleks keinginan dan kebutuhannya, sehingga menjadi rumit pula untuk direka sumber dari pemikiran-pemikirannya serta tindakan-tindakannya.
Selain itu, eksplanasi Freud tentang bentuk keabnormalan perilaku yang bersumber dari kekuatan libido ini menunjuk penjelasan yang dangkal. Kekuatan dorongan tersebut telah membutakan manusia dan menjadikannya tidak berdaya untuk mengembangkan diri ke arah yang positif, tetapi mengarah kepada penyimpangan perilaku dalam upayanya mengatasi, menahan, dan menyiasati dorongan seksual itu. Manusia dalam ketidakberdayaannya melawan libidonya digambarkan oleh Freud menjadi wujud makhluk yang begitu psimis dapat keluar dari belenggu impulsnya itu, seolah-olah tidak ada potensi, misalnya berupa akal, kata hati, atau hati nurani dan keyakinan akan dukungan kekuatan supranatural berupa iman dan taqwa kepada Tuhannya, yang dapat dikembangkan oleh dirinya sendiri untuk melawan hal yang instingtif itu.
Dengan demikian manusia menjadi tidak lagi berbeda dengan makhluk hewan yang bergerak hanya atas dasar instingnya saja. Sebagai makhluk yang berakal dan memiliki keyakinan agama, tentunya pandangan ini patut dikritik, karena manusia tidak mau dan tidak bisa disamakan begitu saja dengan hewan. Ada potensi lain yang harus dilihat melalui dimensi yang berbeda antara manusia dan hewan yang berinsting. Akumulasi dari insting manusia yang mengarah pada suatu dorongan untuk bertindak harus diyakini merupakan hasil dari suatu wujud yang sudah terintegrasi melalui olah akal, sentuhan nurani, dan landasan keyakinan moral dan agama.. Sedangkan insting hewani adalah potensi yang tidak mendapat imbuhan tersebut, sehingga tetap dalam bentuknya yang paling dangkal, tidak berolah, namun vegetatif harus dipertahankan demi kelangsungan makhluk itu.
Hal inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Seperti firman Allah SWT:
“Maka apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. al-Mu’minun:115).
Pada surat al-Baqarah ayat 30, dipertegas bahwa manusia adalah khalifah yang dimaksudkan sebagai pengelola di muka bumi. Manusia sebagai bani Adam telah diberikan kelebihan-kelebihan seperti difirmankan Allah SWT. Pada surat al-Isra ayat 70, yang artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam (manusia), kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.”
Bagaimana manusia dapat menyumbangkan potensinya ini, tentu saja tidak terlepas dari peraturan dan petunjuk hidup yang diturunkan oleh Allah SWT. (QS. Ali Imran: 164, an-Nisa:165). Bila ia berhasil mengikuti aturan tersebut serta mengembangkan tanggung jawab, berarti ia dapat menempatkan dirinya sebagai makhluk yang terpilih. Sebaliknya bila ia gagal, maka ia menjelma menjadi lebih rendah daripada hewan (QS. al-Furqan:43-44; al-A’raf:179).
Tidak semua konsep Freud harus dicurigai sebagai hal yang kurang mengena bagi sudut pendekatan psikologi Islami. Bila dikaji dengan lebih jernih kita bisa sepakat bahwa manusia memiliki potensi dan kekuatan dalam dirinya, entah itu berupa kebutuhan, dorongan, atau impuls, yang mengarahkan individu pada suatu bentuk tindakan yang bisa terorganisir atau juga tidak terorganisir. Jadi pendapat Freud bahwa manusia digerakkan oleh insting untuk hidup dan mati, merupakan pandangan yang bisa diterima sepanjang batasan bahwa insting ini merupakan suatu kekuatan atau potensi dasar yang membuat manusia mau bergerak dalam kehidupan dan mencari sasaran dan tujuan hidupnya. Pemahaman ini dapat diartikan sebagai nafs dengan penjabaran bentuk dan substansinya (QS. Yusuf:53). Siapa yang mengisi dan bagaimana gerak kehidupan itu diisi menjadi sangat rumit bila mempertimbangkan dua premis yang diajukan Freud, tentang premis genetik pengalaman masa kanak-kanak seorang individu dan premis perkembangan kepribadian melalui fase-fase yang dilaluinya sesuai dengan pengalamannya itu.
Konsep ini dapat diadopsi sebagai suatu eksplanasi bahwa ke mana arah individu berkembang sangatlah ditentukan oleh arahan, tulisan dan bentukan yang diterimanya. Dalam hal ini pendayagunaan peran dari potensi-potensi yang dimiliki manusia amatlah berarti, yakni peran aql (akal) dan qalb (kalbu), sehingga mampu mencerna dengan rasio atau pemikirannya serta hati nuraninya segala tujuan hidup dan apa yang hendak dicapainya bagi kepuasan dirinya, namun ia tetap mendapat tuntunan dan rahmat dari Allah SWT, sehingga terhindar dari perilaku salah (QS. Yunus:5; al-Ankabut:43; asy-Syams:7-10; al-Fajr:27-30).
Sebagai kertas putih tabularasa, individu bergerak “menjadi” seseorang, yang dalam pengertian Rogers dimaksudkan sebagai “on becoming a person”. Pembentukan moral, etika, dan keyakinan agama yang diperoleh individu melalui proses pengalaman dan proses belajar bukan hanya merupakan stimulus yang dengan pasif direkam dan kemudian diterapkan pada sasaran dan tujuan yang luhur dalam hidupnya. Karena itu, ia tidak harus selalu menjadi menyimpang atau berperilaku abnormal bila ingin mengolah impulsnya dan mewujudkannya dengan pemuasan yang dapat diterima oleh prinsip mencari kenikmatan (pleasure principle) dan sekaligus juga oleh ketentuan normatif lingkungan dan nilai moral yang dianutnya.

Daftar Pustaka
Ancok, Djamaludin., dan Fuat Nashori Suroso. 1995. Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Bertens, Kees. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud. Jakarta: PT. Gramedia.
Brill A.A. (ed.). 1996. The Basic Writing of Sigmund Freud. New York: Modern Library.
Goble, Frank G. 1987. Mazhab Ketiga-Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hadhiri, Choiruddin SP. 1995. Klasifikasi Kandungan al-Qur'an. Jakarta: Penerbit Gema Insani.
Hall, Calvin S, and Gardner Lindzey. 1970. Theories of Personality. Second edition. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Hjelle, Larry A., and Daniel J. Ziegler. 1992. Personalities Theories-Basic Assumption, Research and Aplications. Third edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Janis, Irving L., and George F. Mahl, Jerome Kagan, Robert R. Holt. 1969. Personality dynamics, Development and Assessment. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.
Marx, Melvin H., and William A. Hillix. 1978. System and Theories in Psychology. New Delhi: Tata McGraw-Hill, Inc.
Rahman, Fazlur. 1983. Tema Pokok al-Qur'an. Bandung: Pustaka Salman ITB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar