KONSEP
MANUSIA MENURUT PSIKOANALISA,EKSPLANASI, KRITIK DAN TITIK TEMU DENGAN PSIKOLOGI
ISLAM
1.
Pendahuluan
Ketika
psikologi berkembang sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku dengan mulai
menerapkan prinsip-prinsip metode ilmiah, maka harus diakui bahwa perkembangan
ini tidak lepas dari pemikiran jenius Sigmund Freud. Pemikiran Freud berakar
dari studi empiriknya tentang individu yang mengalami penyimpangan pada
perkembangan kepribadiannya. Hasil pemikirannya dianggap sebagai suatu karya
yang utuh berupa model pendekatan konseptual atau aliran pertama yang
mendominasi kancah ilmu psikologi dan selalu diperhitungkan sebagai konsep yang
mendasari pertimbangan pemunculan konsep pemikiran berikutnya untuk memahami
perilaku manusia.
Mazhab
kedua yang muncul kemudian menjadi konsep tandingan dari apa yang telah
dikemukakan dalam pandangan-pandangan Freud, yakni aliran behaviorisme.
Pendekatan ini begitu kontradiktif dengan pendekatan psikoanalisa, terutama
dalam substansi materi tentang ketidaksadaran/ kesadaran yang menjadi inti dari
bahsn psikoanalisa tentang posisi dari struktur “psyche” atau jiwa, tetapi yang
keberadaannya justru tidak dipedulikan oleh aliran behaviorisme. Mazhab ini
lebih mengagungkan aspek stimulasi lingkungan yang bisa membentuk perilaku makhluk
dengan sesuka hati lingkungan eksternal itu.
Kemudian
muncul aliran ketiga, yaitu humanistik, yang merasa kurang puas dengan
eksplanasi tentang perilaku manusia menurut dua konsep terdahulu. Kritik aliran
ini terhadap psikoanalisa dan behaviorisme adalah “mengapa konsep tentang
perilaku manusia harus dibangun pemahamannya melaui studi manusia yang tidak
sehat mental dan manusia yang dapat dibentuk seenaknya seperti tanah liat oleh
lingkungannya?”. “Bukankah manusia adalah makhluk yang bebas menentukan
perkembangan dirinya menjadi sehat mental bila ia mendapat kesempatan, sehingga
ia dapat berperilaku optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya?” Mazhab
ketiga ini tidak menolak mentah-mentah konsep yang mendukung kedua mazhab
sebelumnya, tetapi sebenarnya berupaya untuk mengintegrasikan segi yang
bermanfaat, bermakna, dan dapat diterapkan bagi kemanusiaan dari kedua aliran
tersebut.
Ketiga
pendekatan tersebut di atas tentu saja tidak terlepas dari kritik dan kecaman
seiring dengan berkembangnya konsep teori lainnya yang menjadi kontemporer
dalam kancah ilmu perilaku, seperti misalnya aliran psikologi transpersonal,
psikologi kognitif, bahkan pendekatan biopsikososial. Terlebih ketika timbul
kesadaran dari psikolog Muslim bahwa konsep yang telah diaplikasikan dalam
kurun waktu yang cukup lama ini tidak selalu mengandung kebenaran logika ilmiah
yang dapat menjelaskan tingkah laku manusia. Meskipun konsep teori dan
pendekatan-pendekatan dari Barat ini mematuhi kaidah ilmiah dan sistematika
yang dipersyaratkan oleh ilmu pengetahuan, namun ditemukan beberapa eksplanasi
yang tidak dapat diharapkan bila mengingat pemahaman perilaku manusia ditinjau
dari rujukan religi. Keyakinan serta kebutuhan akan pengembangan pendekatan
untuk dapat memahami perilaku ini menimbulkan gagasan tentang psikologi Islami.
Psikologi Islami didefinisikan sebagai model pendekatan teoritik-konseptual
yang merujuk penjelasn-penjelasan tentang perilaku manusia pada semua ayat
dalam al-Qur’an, serta Sunnah Rasul yang tertera dalam hadits. Hal ini
berdasarkan fakta bahwa semua perilaku manusia serta hakikat dan karakteristik
dari sifat-sifat manusiawinya telah dengan jelas digambarkan serta diuraikan
dalam ayat-ayat suci tersebut. Karena itu timbul perdebatan apakah konsep Barat
masih mempunyai manfaat dan keuntungan untuk tetap mempertahankan dalam
menguraikan dan menjelaskan konsep manusia, bila psikologi Islami sebagai suatu
pendekatan dan metode telah mempunyai kebenaran pemahaman perilaku manusia
menjadi lebih pasti pula. Atau masih adakah segi yang logik dan obyektif dari
konsep Barat ini, yang masih dapat dipertahankan untuk memahami perilaku
manusia, sehingga konsep religi dan konsep Barat dapat dipertemukan, baik dari
segi substansi bahasanya, metode ilmiahnya serta terapannya?
Uraian
berikut ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang konsep dasar
psikoanalisa dalam meninjau terbentuknya perilaku manusia, kritik atas konsep
tersebut dalam posisi mencari titik pertemuan dengan konsep psikologi Islami,
serta pada sisi lain mengungkapkan bagian konseptual yang masih dapat
dipertimbangkan memberi manfaat pada tinjauan konsep manusia dari sudut
psikologi Islami.
2.
Konsep
manusia menurut psikoanalisa
Psikoanalisa
sering ditafsirkan dalam tiga batas pengertian. Pertama, sebagai suatu konsep
teoritik dalam ilmu perilaku yang menjelaskan struktur dan dinamika kepribadian
manusia. Kedua, suatu bentuk psikoterapi bagi gangguan jiwa. Ketiga, sebagai
suatu teknik untuk menyusuri pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan tak sadar
manusia.
Konsep
kepribadian dalam teori ini diawali dengan pendapat Sigmund Freud tentang
kehidupan manusia yang dikuasai oleh alam ketidaksadarannya (unconsciousness).
Melalui studi pada pasien-pasiennya, Freud menemukan bahwa bermacam-macam
kelainan tingkah laku disebabkan oleh faktor yang terdapat dalam alam
ketidaksadaran ini. Karena itu untuk memahami gangguan perilaku dibutuhkan
teknik untuk menganalisis alam ketidaksadaran ini yang digambarkan oleh Freud
berada di bawah dan yang tertutup oleh alam kesadarannya (pengertian “bawah
sadar” muncul karena topografi ini).
Struktur
kepribadian digambarkan oleh Freud terdiri dari tiga sistem utama, yaitu id
(das es), ego (das ich), dan super ego (ueber ich). Konsep ini muncul
berdasarkan pemahaman Freud yang mengumpamakan keadaan dan proses mental
manusia itu ibarat gunung es yang mengambang di tengah laut. Bagian permukaan
yang timbul hanyalah sebagian dari apa yang dapat diobservasi tentang keadaan
dalam jiwa itu, dan yang merupakan alam kesadaran. Bagian terbesar justru tidak
tampak dan tenggelam di bawah permukaan, yang merupakan alam ketidaksadaran. Di
antara kedua alam tersebut terdapat alam prasadar. Bagi Freud, alam
ketidaksadaran inilah yang paling penting diperhatikan untuk memahami apa yang
menjadi isi pikiran dan perasaan manusia yang melalui interaksi ketiga sistem
dalam kepribadian manusia kemudian membentuk prilaku manusia.
Id
merupakan reservoir atau wadah yang berisi dorongan-dorongan primitif atau
impuls, atau insting, atau energi psikis yang selalu menginginkan untuk
dipenuhi pemuasan dengan segera. Kalau dorongan ini terpenuhi pemuasannya, maka
akan tercapai keadaan senang, bila belum tercapai maka akan dengan segala daya
akan dicari pemuasannya. Inilah yang disebut sebagai pleasure principle. Id
merupakan lapisan psikis paling dasar, yang merupakan tempat dua naluri, yakni
libido atau eros atau naluri kehidupan; dan kedua, thanatos atau naluri
kematian. Bila bayi baru lahir, maka yang ada pada dirinya hanyalah id ini
saja, yang menjadi bahan dasar bagi isi psikis selanjutnya.
Komponen
yang mengatur atau menyimpan dorongan atau impuls ini adalah sistem ego.
Menurut Freud, ego merupakan penjabaran dari id ketika mengadakan kontak dengan
dunia luar. Aktivitasnya dapat berupa sesuatu yang sadar, prasadar atau tak sadar.
Yang sadar disebut sebagai persepsi lahiriah, atau persepsi batin atau proses
intelektual. Yang prasadar, misalnya fungsi ingatan seseorang, sedangkan yang
tak sadar dikendalikan oleh fungsi pertahanan diri (defence mechanism). Tugas
ego-lah untuk mengatur penyesuaian antara dorongan impuls dengan tuntutan
realita atau norma sosial dan mengendalikan konflik yang tercipta dari adanya
impuls yang saling berbenturan mencari pemuasannya.
Super
ego dapat diibaratkan kata hati yang terbentuk melalui proses internalisasi
yang meliputi larangan dan perintah dari dunia luar yang berhubungan dengan
lingkungan sosial dan nilai moral. Fungsinya adalah sebagai pengontrol dan
penyensor id agar tidak begitu saja merealisasikan pemuasannya. Dapat dikatakan
bahwa antara id dan super ego selalu terjadi pertentangan karena keduanya
saling mendesak. Dorongan id ingin muncul ke realita, tetapi dorongan super ego
menekan agar tidak muncul ke realita bila hal itu tidak disetujui oleh nilai
dan aturan sosial yang berlaku. Bila ego gagal menjadi penengah dari kedua
kekuatan ini, maka terjadi ketidakseimbangan dan konflik batin yang dapat
mengarah pada gangguan neurotik.
Dalam
perkembangan kepribadiannya, Freud berlandaskan pada dua premis. Pertama adalah
pendekatan genetik yang menekankan pada pengalaman masa kanak-kanak yang
dianggapnya memegang peranan penting dalam pembentukan pribadi individu. Dari
premis inilah, Freud meyakini bahwa usia balita merupakan masa rawan yang akan
menentukan siapa kelak pribadi seseorang itu. Premis yang kedua adalah bahwa
libido atau energi seksual telah hadir ketika bayi lahir dan selanjutnya
berkembang melalui suatu seri fase psikoseksual yang mengakar pada proses
instingtif individu.
Secara
hipotesis ia menggambarkan empat fase sekuensial dalam perkembangan
kepribadian, meliputi fase oral, fase anal, fase falik, dan fase genital. Tiga
fase pertama terjadi pada masa usia balita dan disebutnya sebagai masa
pragenital, sedangkan fase terakhir yang terjadi pada masa pubertas, setelah
sebelumnya terjadi fase latensi dalam kehidupan manusia. Dari konsepsinya ini
jelas bahwa Freud menekankan pada faktor insting seksual sebagai faktor utama
yang menentukan perkembangan manusia.
Perlu
diingat bahwa Freud juga dipengaruhi oleh konsep filsafat, sains dan ilmu medik
pada zamannya, yang kemudian dikukuhkan konsep-konsepnya melalui pandangan
kolega, murid dan pengikut alirannya. Marx dan Hillix menggambarkan pengaruh
konsep filsafat, sains dan perkembangan ilmu medik sebagai pemicu dari
berkembangnya mazhab ini serta tokoh-tokoh penerus aliran psikoanalisa.
3.
Kritik
dan Titik Temu dengan Psikologi Islami
Untuk
memahami sisi pandang materi yang perlu dikritik dan diterima dari konsep
psikoanalisa bila dipertemukan dengan sudut pandang psikologi Islami, maka
kejelasan posisi dan lingkup bahasan psikologi Islami perlu ditetapkan lebih
dahulu. Secara definitif, psikologi Islami masih memerlukan uraian yang perlu
terus dikaji ulang agar sampai pada ketetapan pemahamannya yang hakiki. Namun
upaya untuk memberi batasan pengertian selama ini telah sampai pada definisi
(Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori, 1995) bahwa psikologi Islami adalah ilmu
yang berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang
berisi filsafat, teori, metodologi dan pendekatan problem dengan didasari
sumber-sumber formal Islam (ayat qouliyah) dan akal, indra, dan intuisi (ayat
kauniyah).
Definisi
umum tersebut di atas merupakan hasil pengkajian dan pendekatan yang sementara
ini tidak dapat dipisahkan dan saling melengkapi, yaitu pendekatan pertama
bahwa psikologi Islami adalah konsep psikologi modern yang telah mengalami
filterisasi dan di dalamnya terdapat wawasan Islam. Jadi psikologi Islami
diartikan sebagai perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang
konsep yang tidak sesuai dan bertentangan dengan konsep Islam. Sedangkan
pendekatan kedua dalam menurunkan pemahaman psikologi Islami adalah yang
menunjukkan uraian definitif paling mendekati definisi umum tersebut di atas,
yaitu sebagai ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya dibangun atas dasar
sumber-sumber formal Islam, yaitu al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits), dengan
memperhatikan pula syarat-syarat ilmiah seperti lazimnya dalam bahasan
metodologik suatu konsep teori.
Para
psikolog Muslim mengutarakan definisi kedua merupakan suatu keharusan dari
agenda jangka panjang psikologi Islami. Sedangkan pengertian pertama
dimaksudkan oleh psikologi Muslim sebagai tahapan awal berpijak yang praktis
untuk dapat memulai suatu arah kajian yang mengacu pada konsep Islami dengan
mengadopsi konsep yang mendahuluinya, dalam hal ini konsep psikologi modern.
Obyek
formal psikologi Islami adalah manusia dengan segala rahasia karakter, sifat
dan hakikatnya, sampai pada peroses pembentukan perilakunya, yang sebenarnya
merupakan materi yang paling banyak diungkap dalam al-Qur'an. Hal ini bermula
dari konsep tentang manusia, yang bertalian dengan istilah yang selalu
mengiringinya seperti nafs, ruh, aql, qalb, fuad, fitrah, fujura dan taqwa.
Penjelasan tentang bagaimana perilaku insani terwujud dengan mengungkapkan
kedudukan dan pengaruh tatanan isi jiwa manusia memberi peluang untuk
terjadinya kajian dengan meminjam konsep psikologi modern. Dalam hal ini, tidak
terkecuali pembahasa teori psikoanalisa dengan diberikan nuansa kerangka pikir
sumber formal Islam. Namun perlu dipahami bahwa, menurut Fazlur Rahman, dalam
al-Qur'an tidak sedikitpun dijelaskan doktrin dualisme yang radikal antara jiwa
dan raga seperti umumnya yang terdapat dalam tradisi filsafat Yunani, agama
Kristen, dan Hindu. Jadi, konsep manusia menurut al-Qur'an adalah satu
kesatuan, dengan segala sifat dan karakternya yang beragam.
Kritik
atas Sigmund serta para pengembang teorinya, terutama ditujukan pada substansi
yang mengatakan bahwa alam pikiran dan ruang gerak manusia bersumber dari
adanya kekuatan libido yang dispesifikasikan sebbagai dorongan seksual.
Kekuatan dorongan ini begitu disederhanakan sehingga menutup kemungkinan adanya
kekuatan lain yang dapat menggerakkan manusia untuk berpikir dan bertindak.
Padahal harus diakui bahwa manusia adalah wujud makhluk yang kompleks, memiliki
begitu banyak dimensi kebutuhan untuk mengisi kehidupannya, sehingga kita tidak
dapat hanya menjelaskan bahwa perilaku X adalah hasil dari suatu sebab kausal
yang linier dari satu keadaan atau dorongan. Manusia merupakan makhluk yang
begitu kompleks keinginan dan kebutuhannya, sehingga menjadi rumit pula untuk
direka sumber dari pemikiran-pemikirannya serta tindakan-tindakannya.
Selain
itu, eksplanasi Freud tentang bentuk keabnormalan perilaku yang bersumber dari
kekuatan libido ini menunjuk penjelasan yang dangkal. Kekuatan dorongan
tersebut telah membutakan manusia dan menjadikannya tidak berdaya untuk
mengembangkan diri ke arah yang positif, tetapi mengarah kepada penyimpangan
perilaku dalam upayanya mengatasi, menahan, dan menyiasati dorongan seksual
itu. Manusia dalam ketidakberdayaannya melawan libidonya digambarkan oleh Freud
menjadi wujud makhluk yang begitu psimis dapat keluar dari belenggu impulsnya
itu, seolah-olah tidak ada potensi, misalnya berupa akal, kata hati, atau hati
nurani dan keyakinan akan dukungan kekuatan supranatural berupa iman dan taqwa
kepada Tuhannya, yang dapat dikembangkan oleh dirinya sendiri untuk melawan hal
yang instingtif itu.
Dengan
demikian manusia menjadi tidak lagi berbeda dengan makhluk hewan yang bergerak
hanya atas dasar instingnya saja. Sebagai makhluk yang berakal dan memiliki
keyakinan agama, tentunya pandangan ini patut dikritik, karena manusia tidak
mau dan tidak bisa disamakan begitu saja dengan hewan. Ada potensi lain yang
harus dilihat melalui dimensi yang berbeda antara manusia dan hewan yang
berinsting. Akumulasi dari insting manusia yang mengarah pada suatu dorongan
untuk bertindak harus diyakini merupakan hasil dari suatu wujud yang sudah terintegrasi
melalui olah akal, sentuhan nurani, dan landasan keyakinan moral dan agama..
Sedangkan insting hewani adalah potensi yang tidak mendapat imbuhan tersebut,
sehingga tetap dalam bentuknya yang paling dangkal, tidak berolah, namun
vegetatif harus dipertahankan demi kelangsungan makhluk itu.
Hal
inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Seperti firman
Allah SWT:
“Maka
apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main
(saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS.
al-Mu’minun:115).
Pada
surat al-Baqarah ayat 30, dipertegas bahwa manusia adalah khalifah yang
dimaksudkan sebagai pengelola di muka bumi. Manusia sebagai bani Adam telah
diberikan kelebihan-kelebihan seperti difirmankan Allah SWT. Pada surat al-Isra
ayat 70, yang artinya: “Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam
(manusia), kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki
dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas
kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan.”
Bagaimana
manusia dapat menyumbangkan potensinya ini, tentu saja tidak terlepas dari
peraturan dan petunjuk hidup yang diturunkan oleh Allah SWT. (QS. Ali Imran:
164, an-Nisa:165). Bila ia berhasil mengikuti aturan tersebut serta
mengembangkan tanggung jawab, berarti ia dapat menempatkan dirinya sebagai
makhluk yang terpilih. Sebaliknya bila ia gagal, maka ia menjelma menjadi lebih
rendah daripada hewan (QS. al-Furqan:43-44; al-A’raf:179).
Tidak
semua konsep Freud harus dicurigai sebagai hal yang kurang mengena bagi sudut
pendekatan psikologi Islami. Bila dikaji dengan lebih jernih kita bisa sepakat
bahwa manusia memiliki potensi dan kekuatan dalam dirinya, entah itu berupa
kebutuhan, dorongan, atau impuls, yang mengarahkan individu pada suatu bentuk
tindakan yang bisa terorganisir atau juga tidak terorganisir. Jadi pendapat
Freud bahwa manusia digerakkan oleh insting untuk hidup dan mati, merupakan
pandangan yang bisa diterima sepanjang batasan bahwa insting ini merupakan
suatu kekuatan atau potensi dasar yang membuat manusia mau bergerak dalam
kehidupan dan mencari sasaran dan tujuan hidupnya. Pemahaman ini dapat
diartikan sebagai nafs dengan penjabaran bentuk dan substansinya (QS.
Yusuf:53). Siapa yang mengisi dan bagaimana gerak kehidupan itu diisi menjadi
sangat rumit bila mempertimbangkan dua premis yang diajukan Freud, tentang
premis genetik pengalaman masa kanak-kanak seorang individu dan premis
perkembangan kepribadian melalui fase-fase yang dilaluinya sesuai dengan
pengalamannya itu.
Konsep
ini dapat diadopsi sebagai suatu eksplanasi bahwa ke mana arah individu
berkembang sangatlah ditentukan oleh arahan, tulisan dan bentukan yang
diterimanya. Dalam hal ini pendayagunaan peran dari potensi-potensi yang dimiliki
manusia amatlah berarti, yakni peran aql (akal) dan qalb (kalbu), sehingga
mampu mencerna dengan rasio atau pemikirannya serta hati nuraninya segala
tujuan hidup dan apa yang hendak dicapainya bagi kepuasan dirinya, namun ia
tetap mendapat tuntunan dan rahmat dari Allah SWT, sehingga terhindar dari
perilaku salah (QS. Yunus:5; al-Ankabut:43; asy-Syams:7-10; al-Fajr:27-30).
Sebagai
kertas putih tabularasa, individu bergerak “menjadi” seseorang, yang dalam
pengertian Rogers dimaksudkan sebagai “on becoming a person”. Pembentukan
moral, etika, dan keyakinan agama yang diperoleh individu melalui proses
pengalaman dan proses belajar bukan hanya merupakan stimulus yang dengan pasif
direkam dan kemudian diterapkan pada sasaran dan tujuan yang luhur dalam hidupnya.
Karena itu, ia tidak harus selalu menjadi menyimpang atau berperilaku abnormal
bila ingin mengolah impulsnya dan mewujudkannya dengan pemuasan yang dapat
diterima oleh prinsip mencari kenikmatan (pleasure principle) dan sekaligus
juga oleh ketentuan normatif lingkungan dan nilai moral yang dianutnya.
Daftar
Pustaka
Ancok,
Djamaludin., dan Fuat Nashori Suroso. 1995. Psikologi Islami, Solusi Islam atas
Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Bertens,
Kees. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa Sigmund Freud. Jakarta: PT. Gramedia.
Brill
A.A. (ed.). 1996. The Basic Writing of Sigmund Freud. New York: Modern Library.
Goble,
Frank G. 1987. Mazhab Ketiga-Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Hadhiri,
Choiruddin SP. 1995. Klasifikasi Kandungan al-Qur'an. Jakarta: Penerbit Gema
Insani.
Hall,
Calvin S, and Gardner Lindzey. 1970. Theories of Personality. Second edition.
New York: John Wiley and Sons, Inc.
Hjelle,
Larry A., and Daniel J. Ziegler. 1992. Personalities Theories-Basic Assumption,
Research and Aplications. Third edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Janis,
Irving L., and George F. Mahl, Jerome Kagan, Robert R. Holt. 1969. Personality
dynamics, Development and Assessment. New York: Harcourt, Brace & World,
Inc.
Marx,
Melvin H., and William A. Hillix. 1978. System and Theories in Psychology. New
Delhi: Tata McGraw-Hill, Inc.
Rahman,
Fazlur. 1983. Tema Pokok al-Qur'an. Bandung: Pustaka Salman ITB.